Kamis, 18 Agustus 2016

Dari Sepatu Naik ke Hati


Aku selalu percaya kalau cinta itu butuh proses. Dari saling mengenal, saling mengerti, saling mengisi, saling toleransi, dan saling berbagi. Tak ada yang instan dalam cinta, omong kosong yang mengatakan cinta pada pandangan pertama tak pernah sedikitpun kupercaya. Sampai hari itu tiba, hari di mana duniaku serasa dibalik 180 derajat.

Hari minggu itu seperti biasa aku lari pagi di lapangan sepak bola Unila. Hari itu aku memakai jaket, celana pendek, dan sepatu Earthwalk favoritku. Aku selalu menjaga penampilan, terutama sepatu, dan sepatu lari adalah koleksi favoritku. Don't judge.

Setelah berlari beberapa putaran kuputuskan untuk istirahat sejenak. Aku duduk di pinggiran lapangan sambil sesekali menenggak air mineral. Lalu saat hendak bangun untuk lari lagi sesuatu menarik perhatianku. Sepasang sepatu lari yang sangat langka baru saja lewat di depanku.

Kedua mataku terbelalak tak percaya. Sepatu itu adalah sepatu limited edition yang hanya diproduksi beberapa pasang saja. Sangat sulit untuk bisa mendapatkannya, bahkan aku harus gigit jari karena sudah kehabisan duluan. Dan tiba-tiba saja sepatu langka itu melangkah di hadapanku.

Entah apa yang terjadi, tapi tubuhku beraksi mendahului otakku. Tahu-tahu aku sudah berlari mendekati sepasang sepatu yang sudah mencuri hatiku itu, dan kedua mataku sama sekali tak beralih dari sepatu berwarna biru metalik dengan garis-garis merah itu.

Entah sudah berapa putaran aku berlari mengikuti pemilik sepatu langka itu diam-diam. Jarak antara kami tak lebih dari 2 meter, tapi mataku masih terpaku pada sepatu yang sudah membuatku begitu terpesona sehingga tak sekalipun kuangkat kepalaku untuk mengetahui siapa pemilik sepatu itu.

Tiba-tiba dia menepi dan berhenti, seketika akupun ikut berhenti, dan gilanya aku berhenti tepat di hadapannya yang sedang duduk meluruskan kedua kakinya menghadap ke arah lapangan.

Belum sempat aku berpikir harus berbuat apa sebuah suara merdu menyentakkanku, ''Ada perlu apa ya, kak?''

Perlahan kudongakkan kepalaku dan kedua mataku melebar saat melihat sosok luar biasa yang ada di hadapanku. Mulutku terkunci, tak ada satu katapun yang bisa kuucapkan. Jantungku mendadak berdetak seperti drum rock band sampai terasa mau lepas. Sial, sakit terpesonanya aku jadi sangat gugup.

Seorang gadis yang luiar biasa cantik duduk di hadapanku, dua mata hitamnya yang bening dan indah menatapku lembut, dan sebuah senyum yang meluluhkan hati terukir di wajahnya yang sangat cantik dan tampak cerah penuh semangat. Rambut panjangnya yang sehitam langit malam tergerai lurus di bahu kanannya, aku yakin pasti lembutnya tak kalah dengan sutera. Dia memakai jaket dan celana training berwarna biru laut, sangat cocok dengan kulit putihnya yang merona.

''Kak? Kakak nggak apa-apa?'' tanyanya setelah beberapa saat aku hanya mematung.

Aku gelagapan karena terlalu terpesona oleh kecantikan gadis itu, ''A...em...anu, itu...''

Belum pernah aku segugup ini, perasaan macam apa ini? Ini bukan pertama kalinya aku bertemu seorang gadis cantik. Tapi memang ada sesuatu yang lain dalam dirinya yang menarik perhatian dan konsentrasiku seperti magnet raksasa. Wajah cantiknya tampak manis dan serasi dengan sepatu langka itu.

''Em...anu...sepatu itu, itu bukannya sepatu Earthwalk limited edition yang dirilis awal tahun ini?'' tanyaku sambil menggaruk punggung kepalaku yang tak gatal.

Matanya berbinar setelah mengerti maksudku dan senyumnya melebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih dan rapi, ''Ah, iya, bener kak,'' serunya semangat, ''Kakak kok tahu?''

Aku duduk di sampingnya, ''Tahu lah, aku kan sudah mengincarnya dari dulu, tapi sudah keliling kemana-mana nggak pernah dapat.''

''Wah, sayang banget yah.''

''Iya, padahal sepatu-sepatu limited edition sebelumnya semuanya bisa kebeli, tapi justru yang paling aku pengen malah nggak dapat,'' sahutku mendesah.

Gadis cantik itu menoleh dan tampak lebih sumringah lagi, ''Wah, kakak ngoleksi sepatu juga? Keren, boleh lihat nggak?''


Huh? Gadis cantik ini kolektor sepatu juga? Ini luar biasa, kupikir dia gadis yang lemah lembut dan tak tahu apa-apa soal sepatu, tapi ternyata dugaanku meleset 180 derajat.

''Loh, kamu juga suka ngoleksi sepatu?'' tanyaku balik.

Dengan semangat dia menganggukkan kepalanya, ''Iya kak, aku punya 23 pasang di rumah,'' jawabnya mengejutkanku.

''Wow.''

''Hehe, aku suka nggak tahan kalau lihat sepatu keren,'' dia meringis malu-malu, ''Oh iya, namaku Ananda, panggil aja Nanda,'' katanya tiba-tiba mengulurkan tangannya yang putih bersih.

''Rian,'' sahutku menyambut uluran tangannya yang sangat lembut itu.

Lalu kami mengobrol banyak, lebih banyak tentang sepatu, sedikit tentang dirinya atau diriku. Nanda benar-benar gadis yang unik. Dia berperangai ramah dan mudah sekali akrab. Wawasannya luas dan cara bicaranya menunjukkan kecerdasan dan kedewasaan. Sepanjang kami bicara, kedua mataku tak jauh-jauh dari sepatu dan kedua mata hitamnya yang indah. Jantungku juga tak mau tenang sementara bibirku tak henti-hentinya tersenyum lebar.

Perasaan apa ini? Aku merasa begitu senang dan tenang berbicara dengannya dan berada di dekatnya. Ya ampun, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi kalau cinta orang lain dari mata turun ke hati, cintaku dari sepatu naik ke hati.

''Nda, malam minggu nanti sibuk nggak? Jalan yuk!''

Senyum lebar merekah di wajah cantik Ananda, kedua matanya berbinar saat kepalanya mengangguk semangat, ''Ayok!''

Kakek dan Sepeda Tua


Belasan tahun yang lalu, saat aku masih belum bisa mengeja, kakek sering datang ke rumahku dengan mengendarai sepeda tuanya. Hampir setiap pagi beliau datang dan sarapan di rumahku.

Masih teringat jelas bagaimana cara beliau makan, bisa dibilang unik. Kedua kakinya dinaikkan ke kursi, kaki kanannya naik dan tangan kanannya ditumpukan ke lutut. Dengan tangan kirinya beliau memasukkan makanan; caranya menggenggam sendok pun berbeda dari orang lain.

Aku selalu mengagumi kakek. Selain karena beliau dikenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani, bahkan aku yang masih kecilpun bisa merasakan kharisma beliau. Aku juga kagum dengan kepribadian beliau yang bersahaja.

Kakek adalah orang yang sederhana, tapi juga berkelas. Beliau bukanlah orang yang boros tapi mempunyai selera yang cukup tinggi. Bisa dilihat dari pakaian dan parfum yang dimilikinya. Bicara soal parfum, satu hal yang menjadi kebiasaan beliau adalah setiap hari Jumat beliau memakai parfum mahal yang baunya bisa dicium bermeter-meter jauhnya.

Saat-saat paling menyenangkan adalah ketika lebaran. Semua anak cucu kakek akan berkumpul di rumah beliau, bahkan yang tempat tinggalnya cukup jauh pun datang. Aku selalu menantikan hari itu tiba.

Kakek mulai jarang datang ke rumah saat aku mulai masuk smp. Seminggu sekali ketemu pun tak mesti, biasanya aku bertemu beliau saat sholat Jumat, atau saat ibu menyuruhku mengantar makanan untuk beliau. Sejak itu juga aku hampir tak pernah lagi melihat kakek mengendarai sepeda tuanya, sepeda itu terbengkalai di dapur rumah beliau tanpa ada yang mengurusnya.

Kami makin jarang bertemu saat aku masuk sma karena harus masuk ke pesantren yang tempatnya sangat jauh. Hanya setahun sekali bisa bertemu yaitu ketika lebaran. Aku rindu kakek dan sepeda tuanya.

Setelah lulus sma kondisi kakek makin melemah. Beliau jadi makin sering sakit, dan yang membuatku sedih kakek mulai pikun. Dia sering lupa namaku atau menanyakan apakah aku baru sampai padahal sudah berjam-jam aku di rumah beliau. Sungguh menyedihkan dan menyakitkan melihat kondisi beliau makin memburuk setiap harinya.

Hingga akhirnya Tuhan pun memanggil beliau. Itu adalah salah satu momen paling menyakitkan dalam hidupku. Kesedihanku pun bertambah saat melihat ibuku terisak tanpa suara di teras rumah kakek.

Sejak wafatnya kakek, tanpa sadar aku mulai meniru kebiasaan beliau, setiap kali makan aku selalu ingat saat-saat sarapan bersama beliau, sehingga aku mulai meniru cara beliau makan. Hanya memori samar masa kanak-kanakku yang menjadi peninggalan kakek untukku. Setiap saat aku berusaha selalu mengingat beliau tanpa lupa mengirim doa. Kakek, semoga engkau tahu aku sangat merindukanmu, semoga kakek mendapatkan tempat yang istimewa di alam sana. Amiin.

Kerupuk dan Senyuman


Seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun berjalan penuh semangat memasuki gang demi gang lingkungan perumahan yang cukup ramai. Peluh membasahi tubuhnya sementara perutnya menjerit karena belum diisi apapun sejak pagi, padahal matahari sudah semakin miring. Tapi raut mukanya tegas dan tak memelas. 

Kedua tangannya menjinjing plastik-plastik berisi kerupuk khas daerah kelahirannya, kerupuk melarat namanya. Dari rumah ke rumah dia meneriakkan barang dagangannya dengan lantang. Tersenyum ramah tiap kali berpapasan dengan siapapun dan dengan sopan menawarkan kerupuknya.

Tiap hari, dari pagi hingga sore, anak sekecil itu harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk menyambung hidup, agar bisa menyambut matahari tiap pagi. Anak yang seharusnya menikmati hari tanpa beban selain belajar dan bermain, justru menghabiskan hari dengan berkeliling dari rumah ke rumah untuk berdagang.

Tapi si anak yang sejak balita sudah diajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan dalam hidup, tak pernah sekalipun mengeluh. Dia tak punya waktu untuk hal sepele seperti itu. Sebaliknya, wajah lelahnya tak pernah kehilangan senyum hangat yang penuh semangat. Dia selalu ingat perkataan ayahnya bahwa senyum adalah sebuah ibadah ibadah kecil yang luar biasa, senyum adalah sedekah paling ringan yang bisa menghangatkan hati bahkan orang asing sekalipun. Dan meski kemiskinan selalu menjerat keluarganya, dia tahu bahwa Tuhan takkan memberikan cobaan di luar kemampuan kaumnya.

Rabu, 17 Agustus 2016

Aku juga Orang Indonesia

Namaku Noah, Noah Vanderveer. Aku berdarah campuran; ayahku orang Belanda dan ibuku asli Indonesia, aku memang lahir di Belanda tapi aku tumbuh di Indonesia dan tak pernah menganggap diriku orang Belanda atau bule, aku adalah orang Indonesia. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi faktanya aku lebih cinta Indonesia daripada tanah kelahiran ayahku, meskipun kewarganegaraanku ganda.

Dan karena wajah dan perawakanku yang sama persis dengan ayahku, aku selalu dipanggil "bule" dan jadi bahan bully karena lidahku yang sialnya juga ikut-ikutan ayahku. Tidak ada satu bagianpun dari tubuhku yang tampak "Indonesia" padahal ibuku asli Indonesia.

Yang paling menyakitkan adalah ketika mereka memanggilku penjajah atau orang Belanda tak tahu diri dengan tatapan penuh benci dan jijik. Tapi biarlah, aku tak pernah ambil pusing. Mau orang memanggilku apa, meledekku bagaimana, aku tak peduli. Aku orang Indonesia.

Diantara banyak hal yang kusuka dari tanah airku ini, bahasa Indonesia adalah yang paling kusuka. Bahasanya simpel dan sederhana, tapi sopan dan bersahaja. Tapi itu mungkin karena aku suka membaca cerita rakyat dsn sejarah Indonesia pada jaman kerajaan. Nilai pelajaran Bahasa Indonesiaku tak pernah kurang dari 9. Banyak yang memuji, tapi tak sedikit pula yang menghina, karena, yah, aku "bule".

Selain itu ada satu momen yang paling kusuka yaitu peringatan hari Kemerdekaan, tanggal 17 Agustus. Pasti akan ada banyak lomba-lomba menarik dan malamnya akan ada layar tancap yang memutar film-film kemerdekaan di mana para tentara dan rakyat Indonesia berjuang melawan kolonial Belanda.

Sejak kecil aku selalu ingin ikut serta dalam semua perlombaan itu, tapi nasib jadi "penjajah", orang Belanda sepertiku ini mana mungkin diperbolehkan ikut. Bahkan pernah aku diusir secara kasar oleh panitia penyelenggara perlombaan. Akhirnya setelah beberapa kali ditolak dan diusir aku tak pernah lagi meminta ikut berlomba. Tapi secara diam-diam aku menontot, bersembunyi di semak-semak yang agak jauh dari keramaian.

Bagaimana dengan ibuku? Tentu saja beliau awalnya marah kepada warga yang tega melarang dan bahkan mengusirku, tapi ayah bilang tak ada gunanya marah dan protes, dan kupikir juga begitu. Akhirnya merekapun melarangku pergi karena pasti akan diusir juga.

Memang itu dulu, sekarang lebih banyak orang berpikiran terbuka. Tapi tetap saja masih ada orang skeptis yang berpikiran sempit, dan ruang gerakku juga masih terbatas.

Sekarang sudah dekat bulan Agustus dan seperti tahun-tahun sebelumnya, di setiap SMA di seluruh indonesia diadakan seleksi untuk menjadi anggota pasukan pengibar bendera pusaka. Sejak kecil aku selalu terpukau melihat PASKIBRAKA beraksi, dan sepertinya aku sedikit terobsesi untuk menjadi salah satu anggotanya.

Jadi saat ini aku sedang berbaris bersama 44 teman seangkatanku untuk melakukan uji coba. Bisa ditebak, semua mata menatapku heran dan terkejut. Mungkin mereka berpikir sakit apa bule satu ini.

Belum sempat kami melakukan gerakan apapun, salah seorang anggota PASKIBRA tingkat kodya yang menjadi penguji kami segera melesat ke arahku dan menarikku keluar barisan.

"Kamu nggak boleh ikut," ucapnya datar.

"Loh, kenapa? Ini terbuka untuk umum kan? Untuk kelas XI kan?" seruju protes.

"Anggota PASKIBRAKA harus orang Indonesia, kamu bukan," jawabnya sambil berlalu pergi.

"SAYA JUGA ORANG INDONESIA! SAYA BESAR DI INDONESIA! SAYA CINTA INDONESIA!" teriakku kencang membuat orang itu berhenti dan menoleh, diikuti puluhan kepala yang lain.

"IBU SAYA ORANG INDONESIA! BAHASA INDONESIA SAYA JAUH LEBIH BAIK DARI KALIAN SEMUA YANG MENGAKU ORANG INDONESIA!"

Nafasku tersengal dan kepalaku berdenyut keras, kedua mataku panas dan mulai basah, "DALAM TUBUH SAYA JUGA MENGALIR DARAH ASLI INDONESIA! APA HAK KALIAN MELARANG DAN SEENAKNYA MENGATAKAN SAYA BUKAN ORANG INDONESIA?! KALIAN BUKAN TUHAN!"

Detik berikutnya kurasakan kepalaku dihantam sesuatu yang keras,terdengar bunyi krak keras dan rasa sakit yang mengejutkan dan membutakan menyerangku. Lalu semuanya gelap.

...

Entah berapa lama aku tertidur, tapi saat kucoba kubuka kedua mataku rasanya berat sekali. Dan begitu bisa kubuka, seketika kurasakan sakit di hidung, pelipis, dan punggung kepalaku. Semua yang bisa kulihat berwarna putih, rumah sakit. Lalu kudengar seseorang berteriak dan beberapa orang mengerumuniku.

Ada ayah dan ibuku, tampak sedih dan layu, bediri di samping seorang dokter muda yang sangat cantik. Sang dokter kemudian memeriksa keadaanku, melakukan beberapa tes ringan dan meninggalkan ruanganku saat dia yakin aku sudsh stabil.

Ayah dan ibuku tak berkata apa-apa. Mereka hanya duduk di samoing ranjangku, masih dengan tatapan sedih mereka. Aku tak ingin mereka bersedih, sejak kecil yang kuberikan kepada mereka hanya ini, aku ingin mereka melihatku dengan senyum bangga, bukan tangisan tertahan dan tatapan sedih yang penuh belas kasihan.

"Ke-napa...?" kataku dengan suara serak dan terbata, seketika tenggorokanku terasa seperti tersengat, sakit sekali. Tapi tetap kulanjutkan berbicara, "Kenapa...selalu seperti...ini? Aku...aku juga...orang Indonesia, ya kan Bu?"

Ibuku mengangguk keras dan air matanya meluncur deras.

Ya, aku juga orang Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesiaku tercinta...

Selasa, 16 Agustus 2016

Secangkir Kopi yang Tak Hitam



Seperti biasa, setiap pagi aku duduk di sudut café dekat rumahku, menikmati secangkir kopi kesukaanku sambil memikirkan kelanjutan cerita untuk blog-ku. Sesekali kuseruput kopi manisku, menambahkan beberapa ide, dan mencoret yang kupikir kurang bagus. Ya, kopiku tidak pahit, tapi manis, secangkir besar café latté dengan sedikit tambahan gula, kalau kau boleh menyebutnya cangkir.

Sambil bergumam sendiri kutambahkan lagi beberapa ide untuk kelanjutan novelku, sementara tangan kananku sudah sibuk dengan kebiasaan lamanya; memilin-milin rambut hitamku yang ikal dan panjang. Saat ini aku sedang mengerjakan novel romantis, dan ini adalah pengalaman pertamaku. Biasanya aku lebih sering menulis cerita fantasi atau misteri, tapi karena penasaran aku jadi ingin mencoba cerita romantis. Kemarin baru kupublikasikan chapter pertamanya dan para pembacaku memberikan respon positif, mereka menunggu kelanjutan ceritanya.

Kalau kalian penasaran, ceritanya sebenarnya sederhana, tentang seorang gadis yang jatuh cinta kepada sahabat dekatnya sendiri dan terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya. Dia takut itu akan merusak persahabatan mereka dan membuat sahabatnya itu justru menjauhinya. Bertahun-tahun gadis ini memendam perasaanya sampai akhirnya mereka harus berpisah karena sahabatnya itu harus pindah ke kota lain bersama keluarganya.

Aku sudah menemukan beberapa ide yang cocok untuk kelanjutan ceritanya dan baru akan mulai menulis saat seseorang tiba-tiba mengejutkanku, "Kau tahu, kau terlihat sangat seksi setiap kali kau melakukan itu."

Sebuah suara berat seorang pria membuatku terlonjak dan nyaris menjatuhkan cangkir kopiku, "Tolong berhenti menggigit bibirmu seperti itu, aku hampir tak bisa berdiri," lanjutnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku mendongak menatapnya tanpa bisa berkata apapun. Aku memang tak biasa berinteraksi langsung dengan orang lain, apalagi dengan seorang pria, dan lebih tepatnya seorang pria asing yang tampan dan seksi seperti dia. Badannya kejar dan tegap, wajahnya tegas tapi tak menakutkan, jenggot tipis di rahang kokohnya membuatnya makin terlihat seksi. Tapi yang paling menghipnotisku adalah kedua nata hitamnya yang memberikan efek rileks yang menyenangkan. Ya Tuhan apa yang barusan kupikirkan?

"Er...maaf?" kataku tak yakin. Aneh, biasanya aku langsung gemetaran dan sulit bicara bila bertemu orang asing. Lalu pria seksi itu tiba-tiba tertawa, tawa lepas yang terdengar renyah dan merdu yang membuatku merona. Ya ampun, apa yang terjadi denganku?

"Maaf, jangan aku bukan bermaksud menakutimu," katanya dengan senyum yang lebih manis dari kopiku, "Boleh aku duduk?"

Sebelum kupersilahkan dia sudah menarik kursi di hadapanku dan meletakkan dua cangkir besar di meja. Sejak kapan dia membawa dua cangkir itu?

"Sepertinya kau perlu tambahan kopi," katanya menyodorkan salah satu cangkirnya padaku. Aku melirik cangkirku dan memang sudah kosong, "Iya, tapi..."

"Café latté dengan sedikit tambahan gula, kan?" potongnya sebelum aku sempat bicara.

"Bagaimana...?"

"Sudah lama aku ingin menyapamu," jelasnya masih dengan senyuman yang terlalu manis itu.

"Oh ya?"

"Ya, tapi kau selalu sibuk, terlalu asyik dengan kopi dan ceritamu."

Aku mengerutkan dahi bingung, "Aku pembaca setia blog-mu, aku jatuh cinta pada setiap tulisanmu. Setelah sekian lama membaca semua ceritamu, aku jadi ingin bertemu langsung denganmu."

"Oh, terima kasih."

"Ya, tapi aku tidak pernah berani menyapamu," katanya sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tidak gatal itu, oh God dia terlihat makin seksi saat tersipu seperti itu, oops.

"Jadi setiap pagi aku hanya bisa duduk di seberang sana sambil memerhatikanmu menikmati kopi dan menulis. Maaf kalau jadinya terkesan seperti penguntit, aku tak bermaksud begitu."

"Tidak masalah, selama kau tidak berbuat macam-macam," kataku setengah jujur, kau berbuat macam-macam pun sepertinya aku akan pasrah. Oh Tuhan, dari mana pikiran kotor ini muncul? Ada apa denganku?

"Oh, ya ampun, di mana letak kesopananku? Aku David, David Pratama, salam kenal," katanya sambil mengulurkan tangannya yang besar, mulutnya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih.

"Elisa, oh well, kau tentu sudah tahu," sahutku menyalami tangannya, yang terasa agak kasar tapi begitu pas dan nyaman dalam genggamanku, rasanya enggan melepas genggaman tangannya.

"Ehem, apa perlu kupotong tanganku agar bisa kau bawa pulang?"

Seketika itu juga langsung kulepas tanganku. Ya ampun, memalukan sekali, aku yakin wajahku pasti semerah tomat sekarang. Sementara itu David justru tertawa lepas, tawa merdu yang terdengar seperti lagu di telingaku.

Lalu kami mengobrol tentang banyak hal. Aneh rasanya karena aku baru mengenal David beberapa menit yang lalu tapi kami bercengkerama seperti sahabat lama. Aku yang biasanya gugup dan canggung bisa bercerita dan tertawa lepas dengan pria yang baru kukenal ini.

Tapi siapa yang tak merasa nyaman berbicara dengannya? David pria yang sangat sopan, dia orang yang cerdas dan berwawasan luas. Dia juga lucu dan sangat mudah menbuatku tertawa. Dan jangan lupa dia sangat seksi. Well, tentu dia bukan pria seksi dan tampan pertama yg kutemui, masih banyak yang lebih keren dan tampan, tentu saja. Tapi David satu-satunya pria yang bisa membuatku bicara dan bersikap terbuka tanpa canggung dan gelisah.

Entahlah, tapi ada perasaan aneh yang terasa familiar yang membuatku nyaman dan tenang saat berbicara dengannya. Tiap kali bibirnya tersenyum, tiap kali suara merdunya berbicara, dan tiap kali mata hitamnya menatap tepat ke kedua mataku, tubuhku bergetar bukan karena gelisah tapi karena terpesona, dan emosiku begitu tenang dan nyaman.

"Sejujurnya, jauh sebelum membaca ceritamu, kita pernah bertemu sekali di sebuah café," kata David masih dengan senyum mautnya itu.

"Oh ya? Kapan?"

"Lima tahun yang lalu, saat itu kita tak sengaja memesan kopi secara bersamaan. Kita sama-sama berlari ke barista dan memesan pesanan yang sama sampai-sampai si barista itu terkejut dan bingung. Saat itu kita sama-sama memesan café latté dengan sedikit tambahan gula," katanya lalu menyeruput kopinya.

"Ya ampun, itu kan..."

"Cerita pertama di blog-mu," potong David, "Secangkir kopi yang tak hitam."